"Benarkah ini? Benarkah ini ?" Sebuah pertanyaan yang berkali-kali aku layangkan pada diri sendiri namun tak kunjung menuai jawaban!  "Benerkah ini ya Allah?" Kemudian aku tanyakan kepada penggenggam kehidupan apakah aku tidak sedang melihatnya dalam mimpi. Kalau memang benar hanya bunga tidur, aku ingin mengakhirinya sesegera mungkin.

Seorang lelaki bermata bulat besar memakai kemeja putih, sarung hijau,  jas dan songkok hitam nasional telah mengucapkan akad mempersunting bidadari yang aku sendiri pun tersungkur malu pada ke-shalihannya. Duh gusti! Ini nyata. Hentikan ratapan ini, kuatkanlah jiwaku. 

Mataku kemudian perih, bukan karena iritasi bukan pula karena irisan bawang merah. Kemudian perih pada mata ini menjalar ke ulu hati yang semakin membuat dada sesak. Aku tak percaya sebegitu ringkaskah cerita aku dan kamu yang berakhir sama-sama tak memiliki kini kau telah menggandeng kekasih halalmu terlebih dahulu. Sebercanda itukah semesta? 

Bukan aku tak ikhlas melepasmu pergi. Bagaimanapun tiga pesan terakhir darimu selalu mengiang jelas  ditelinga. "Aku akan berusaha semaximal mungkin yang aku bisa maka bersabarlah dalam penantian, jika kamu dan aku tidak menjadi kita ikhlaskanlah, dan jika aku dan kamu menjadi kita maka bersyukurlah. Karena saat ini kekuatan terbesarku adalah keterlibatan tangan tuhan" ucapmu tegas menguatkan dari seberang telepon genggam.

Aku ikut bahagia sangat bahagia untukmu. Akhirnya semesta telah meng-amini keinginanmu bergandengan dengan tulang rusuk yang telah Allah tulis dalam lauhul-mahfudNya cantik nan sholihah. Aamin. Doaku mengiringimu semoga kalian menua bersama dan menjadi pasangan sehabat dalam agama dan kehidupan dunia hingga tiba pada kehariban ilahi dan kehidupan setelah kematian.

Sekarang, aku sadar sesadar-sadarnya bahwa goresan luka ini adalah alarm dari sang khaliq bahwa aku tidak boleh berhenti bermuhasabah diri dan terus menempa diri. Sebab bagaimanapun janji Allah tiada pernah dusta bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik begitupula sebaliknya.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, izinkan aku bercerita cuplikan kisah pada tahun 2018 yang jika ada hikmahnya alhamdulillah. Namun jika tidak, maka hanya kesan yang ingin aku tutup dalam peti.

*pagi itu menjadi pertemuan kami yang kedua, entah kenapa ada adegan yang jika di ingat-ingat sangatlah lucu dalam versiku. Pertemuan kami di sebuah rumah makan murah depan kampus menjadi sebab jengkelnya aku ke dia yang tak kunjung mengucapkan 3 kata yang bikin wanita klepek-klepek hahaha (wanita mah memang begitu ya) yang aku tangkap dari ekspresinya, dia tidak memungkin mengucapkan kata itu, di tempat yang enggak mendukung dalam keromantisan. Hingga akhirnya aku keluar kesal mau masuk kelas ikut mata kuliah.  Beberapa detik kemudian, ia pun ikut keluar menghampiriku yang hendak memasang helm dan berkata "haruskah aku mengejar dan melarangmu, seperti dalam sinetron" disitulah aku ngakak dalam hati.

*obrolan pertama dapat menjadi ukuran klop tidaknya dengan seseorang.

 *Siang itu cuaca cukup bersahabat. Mendung tak hujan, cerah namun tak panas. Sama seperti hatiku yang sedih akan ditinggal kekasih demi sebongkah emas menuju niat mulia menghadap orangtua. Harus tegar tak menumpahkan air mata melambaikan sayonara di sebuah terminal kota tempat kami sama-sama menuntut ilmu namun beda kampus. Kepergian itu ternyata menjadi jalan perpisahan kami.  Hiks hiks.

Sebab jika tidak berjodoh, akan ada jalam tersendiri untuk terpisahkan meski secara akal tidak akan demikian.

Artikel ini diikut sertakan minggu tema komunitas Indonesian Content Creator 

Baca Juga