Aku adalah bos dari usahaku sendiri. aku bisa libur kapanpun sesuai keinginanku. Aku senang menikmati pekerjaanku sebagai enterprenuer. Lebih tepatnya, penjual daging ayam di Bali. Tak banyak saingan disekitarku. Aku pun dengan mudah mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Perihal uang jajan harian, bisa aku dapatkan setiap hari tanpa menunggu awal bulan atau akhir bulan.

Pada suatu waktu aku mudik ke kampung halaman, membangun rumah di kampung untuk masa depan anak-anakku. ternyata tanpa disangka, virus corona melanda tanpa diundang. peristiwa itu, meresahkan banyak orang termasuk diriku. Sebab tak ada kabar baik untuk bisa kembali dengan mudah ke perantauan. Zona merah katanya. Atau jika ingin tetap berangkat, harus membawa hasil rapid tes dan mengisolasi diri 2 minggu. Namun memilih di rumah saja mungkin lebih baik terlebih memiliki buah hati masih balita.



Suatu waktu aku mendengar kabar yang membuatku naik pitam. Saudara sepupuku jualan di arena yang sama denganku. Aku yang khawatir keberadaanku terusik, takut para pelanggan lebih memilih membeli jualannya ketimbang milikku, akhirnya aku nekad berangkat. Ternyata bener saja. Selama masa karantina, banyak yang melapor perihal jualannya yang ramai. Masa isolasi selesai. Aku pun mulai jualan.

Sungguh, aku khawatir jualanku menurun. Emosiku jadi sering tak karuan. Lebih sinis dan negatif. Aku memohon kepada saudara terdekatnya untuk pindah dari tempat itu. Biar tidak menghambat rezekiku. Aku kesel dan sering mengumpat , aku cerita kepada orangtua di kampung, sampai-sampai ibukku membenci ibuknya saudara sepupuku itu. Namun tak jua dia berkutik, aku nelpon sendiri ke orangtuanya namun nihil. Tak banyak yang mengubris keresahanku ini. malah, ia mendapatkan pembelaan, bahwa sedang sama-sama mencari rezeki di zaman ekonomi yang membelit.

Kondisi fisikku juga kurang baik seperti; sering sakit kepala, tidur tidak nyenyak, dan nafsu makan menurun. aku pun harus jualan pagi dan sore hari agar pelangganku tidak kabur. Apalagi dia yang sedang menjadi rivalku jualan hingga sore hari. Air mata menetes tak terasa saat anak rewel. Aku tahu ini kesalahanku yang tak peduli dengan cuaca panas atau hujan untuk menggantikan suami yang sedang membereskan pekerjaan di kandang atau saat dia akan delivery orderan. Yang dalam pikiran setiap waktu gimana caranya aku tetap nomor satu dan dia pergi dari area itu. Batinku panas, saat melihat ke arahnya lebih dikerumuni.

Setiap harinya, tak ada penampilan cerah menghiasai wajah. Sebab, selain sudah kusut dengan rasa lelah, senyuman pada pelangganku tak pernah terbentuk. bahkan setiap kali, mereka nawar aku bisa berkata dengan oktaf lebih tinggi. Suatu waktu sejak rivalku semakin disayang oleh pelangganku karena ia tidak ketus seperti aku katanya, ia pun melebarkan usaha membuka toko yang cukup besar, buka BRI link dan usaha lainnya. Toko itu dijual dengan harga sangat miring kepadanya. Aku semakin membencinya.

Hingga di suatu waktu, aku disadarkan oleh teman bahwa ternyata selama ini aku terkena Burnout syndrome kondisi stres yang berhubungan dengan pekerjaan yang melelahkan dan menguras energik fisik maupun emosi hingga aku tak mampu berpikir jenih.

Aku tak mampu melihat bahwa masih ada sisi positif yang terjadi dalam pekerjaanku ini seperti, penjualanku meningkat semenjak ikut jualan sore hari. aku salah telah membiarkan emosi menyulut yang nantinya akan merugikan diri sendiri telah memberikan stress berkepanjangan kepada diri sendiri yang menyebkan burnout.

saat ini aku telah melakukan terapi kepada diri sendiri agar burnout yang menimpa dapat diminimalisir perlahan dengan cara;

  • menyadari bahwa rezeki adalah prerogratif Allah. 
  • persaingan dalam bisnis adalah hal biasa tetap pasrahkan segala urusan ke sang penggenggam alam semesta
  • jangan pernah memutus hubungan dengan sesama manusia apalagi sedarah agar rezeki tidak sempit
  • adanya pandemi merupakan ujian yang pasti suatu saat nanti akan berlalu.
  • tetap berpikiran positif bahwa segala sesuatu atas kehendak Allah
  • tingkatkan ibadah agar bisa berpikir lebih jernih

Ini dia ceritaku dalam mengatasi burnout yang menyerang saat pandemi semoga juga jadi ajang muhasabah untuk kita semua.



Note: cerita ini merupakan salah satu contoh potret sosial yang terjadi di lingkungannya kemudian di ramu oleh si penulis


Baca Juga