Ada yang memiliki keinginan dan harapan bisa keliling dunia gak? Menyaksikan betapa sungguh luar biasanya sang pencipta menciptakan keberagaman alam seperti manusia dengan kebiasaan dan adat istiadatnya, warna kulit dan perawakannya, serta Bahasa dan pola pikirnya. Begitupula buah-buahan dan aneka makanannya serta hewan dan speciesnya dan beragam pernakpernik dunia lainnya.

Tapi untuk menikmati semua itu pasti membutuhkan budget yang cukup lah ya. Kalau yang kere atau ada sih uang tapi kan masih perlu memenuhi kebutuhan primer dulu dan ini itu, gimana dong? Nah ada kok cara paling jitu menjadi traveler dengan minim budget atau tidak sama sekali memiliki dana hanya dengan membaca buku hehe. Membaca buku tentang travelling atau perjalanan seseorang di kota dan negara yang berbeda dengan yang ditempati oleh kita pasti seru sekali deh untuk diketahui. Apalagi banyak manfaat yang bisa di ambil di dalamnya.

Plot novel Reem yang akan aku review kali ini memiliki dua garis besar seperti; ketulusan memenuhi panggilan kemanusiaan sekalipun kematian akan lebih dekat, cinta yang besar karena tersanjung terhadap budi pekerti tidak mau berpadu tanpa restu dari orangtua, dan betapa erat persahabtan Indonesia-Palestina.



Judul buku: Reem

Penulis: Sinta Yudisia

Penerbit: PT Mizan Pustaka

Tahun Terbit: 2017

Tebal Buku: 350 halaman

ISBN: 978-602-6716-11-8


Diangkat dari kisah nyata, novel ini di awali oleh negara Maroko sebagai tempat menimba ilmu para insan termasuk mahasiswa dari Indonesia dan Palestina. Seiring waktu, Kasim menemukan seorang yang tepat untuk menyelesaikan tugas akhir akademiknya pada sosok Reem warga asli Palestina, penulis puisi, penghafal alquran, sekaligus pegiat seni yang peduli anak-anak Palestina dengan memberikan waktu untuk mengajari mereka.

Mereka sempat terhalang oleh restu Baba Reem namun akan sama-sama berusaha mendapatkan restu orangtuanya, begitupula dengan Kasim saat pulang ke Indonesia pasca menyelesaikan akademiknya. Namun sayang, demi menghormati keputusan orangtua yang telah membesarkannya dengan sangat hangat, tanpa bentakan dan perlakuan berbeda serta cita-citanya mengikuti sifat Fadhl bin yahya yang rela berdiri sepanjang malam di dekat lentera yang nyalanya hampir padam demi menghangatkan botol berisi air untuk wudhu sang ayah yang kedinginan saat itu.

Juga sebagaimana Mis’an bin khodam yang setiap kali ibunya pergi ke masjid, ia selalu mendahului untuk menghamparkan sajadah dan melipatnya ketika sang ibu selesai munajat. Begitupula harapan Kasim yang kelak akan mencoboki ayah-ibunya saat sudah lanjut umur dan susah melakukannya sendiri. Maka sebagai bentuk taanya meski hatinya terpaut di Palestina, ia harus menikahi adiknya, yang sangat dicintai oleh sehabat dekatnya sendiri.

Namun setelah dua bulan pernikahan ia meninggalkan adiknya secara baik-baik dengan keadaan suci, restu dari ketiganya untuk memperjuangkan cinta Kasim kepada gadis Palestina yang di belahan sisi dunia sedang melakukan ikhtiar terbaiknya untuk penyembuhan bahkan meski kebanggaan wanita yang tidak akan pernah dimiliki oleh laki-laki harus tak lagi ia miliki. Namun siapa sangka secara logika, Reem lah yang lebih dekat dengan kematian malah Kasim yang dipeluk terlebih dahulu oleh malaikat Izrail di hari yang paling ditunggunya untuk mempersunting bidadari pujaan hatinya.

Sungguh novel ini bukan Cuma tentang travelling, tapi sejarah, dan juga banyak hikmah.

Baca Juga