Tahukah kamu meski seseorang telah dewasa tapi masih ada jiwa kanak-kanak dalam dirinya! Apakah kamu pernah merasakannya? Pernahkah kamu menemukan moment  yang membuat diri sendiri keheranan? Kok aku begini ya? Kenapa aku bisa melakukan itu ya, seperti bocah saja tingkah lakuku! Mari, kenali jati diri bahwa ada sisi kepribadian seseorang yang bisa dialami oleh siapapun. dr. I Gusti Rai Wiguna, Sp.KJ, mengatakan bahwa pengalaman masa kecil  terekam oleh memori otak sejak dalam rahim ibu senada juga dengan apa yang dr. Aisyah Dahlan,CHt bahwa memang inner child terjadi sejak dalam kandungan sampai sebelum akil baligh atau sebelum masa menstruasi datang bagi perempuan. Inner child menjadi sosok anak kecil yang terus melekat dalam diri seseorang meski sudah dewasa.

inner child sebagai jati diri


Hingga disuatu waktu, memori akan mempresentasikan sebuah ingatan yang menghidupkan kembali rentetan pengalaman masa lampau tepatnya saat masih anak-anak, yang didominasi oleh dua hal. Yaitu menghadirkan kembali pengalaman paling menyenangkan atau yang paling menyedihkan. Namun ternyata, survey membuktikan pada saat aku mengikuti parade webinar oleh ruang pulih, yang diisi oleh bapak Anthony Dio Martin, seorang best EQ trainer Indonesia. Beliau bertanya kepada kami memori apa yang paling diingat, dengan jujur, teman-teman mengatakan bahwa hal yang paling menyedihkanlah yang lebih diingat. Lalu, bagaimana dengan memori masa kecilmu?

Aku bukanlah orang tuaku dan orang tuaku bukanlah aku. Aku saja tidak suka dipaksa menjadi mereka dengan cara mereka dan tidak dipahami. Mengapa aku membiarkan diriku terjebak dalam drama, tidak memahami dan sulit menerima sebagaimana mereka ~IMH

Contoh studi kasus yang umumnya sering dialami oleh anak-anak adalah cubitan, cibiran, pukulan, plototan atau amarah yang terlalu meledak-ledak padahal hanya hal sepele atau suatu peristiwa kecil namun terlalu dibesar-besarkan. Misalnya tidak tidur siang meski sudah dipanggil atau diperingati berkali-kali sebab masih terlalu asik bermain hingga ketika terjatuh atau tanpa sengaja membuat teman bermainnya menangis,  orangtua reflek tersulut amarahnya kemudian memarahi si kecil dengan plototan dan wajah merahnya atau malah masih mencubiti bahkan memukuli berulang kali karena orangtua belum puas dan lepas kontrol.

Apa yang orangtua lakukan ini sebenarnya sedang menunjukkan kasih sayang, perhatian dan kepeduliannya. Cuma diekspresikan dengan cara yang kurang tepat. Meski niatnya memberikan efek takut, jera dan tidak lagi mengulanginya, tapi coba deh tanyakan kepada diri sendiri, benarkah ini cara yang tepat? Lalu, apakah kita yang saat ini sedang dipercayai menjadi orangtua akan mewarisi cara mendidik anak sebagaimana orangtua kita dahulu?

Padahal perasaan anak saat kejadian itu sedang merespon bahwa ia tidak dicintai, tidak dipercayai, dan disakiti oleh orangtua sendiri.  Ia belum mampu menganalisa dengan baik apa maksud orangtua sebenarnya sehingga muncullah luka batin yang tentu berbeda dengan luka fisik. Dalam buku Luka Performa Bahagia karya Intan Maria Lie dan Adi Prayuda tertulis bahwa luka fisik terlihat jelas dimata terbuka namun jika luka batin sulit terdeteksi tanpa kepekaan dan keinginan untuk menyelami serta menyembuhkannya. Artinya perlu komunikasi dengan anak dalam diri ini.

Luka batin dapat menetap dalam jiwa bawah sadar yang sewaktu-waktu muncul dalam bentuk perasaan, pikiran,dan perilaku negatif yang dapat mempengaruhi keputusan dalam merespon masalah yang akan menghambat perkembangan diri sewaktu dewasa bahkan inner childnya sering muncul dan mengambil alih kehidupan dewasanya loh.

Jadi, jika kamu masih melakukan pola asuh yang sama dengan orangtua sendiri bahkan merasa tidak adil jika anaknya tidak mengalami hal serupa berarti ada yang kurang beres dengan inner childmu. kamu perlu ambil langkah untuk lebih mengenali  Pada dasarnya inner child ada yang positif dan negatif. Inner child negatif adalah ia yang mengalami luka pengasuhan masa lalu. Sehingga tak ada cara terbaik yang seharusnya dilakukan kecuali re-parenting inner childmu dan berusahalah memaafkan masa lalu dan memperbaiki diri dengan belajar ilmu parenting.

dr. Aisah Dahlan, CHt menjelaskan bahwa asal usul terbentuknya konsep inner child dimulai saat ilmu tentang otak berkembang begitu pesat dengan hadirnya alat FMRI (functional magnetic resonance imaging) yang bisa mendeteksi memori menyenangkan dan menyedihkan dalam otak. yang diakses oleh alam sadar dan alam bawah sadar. Sigmund Freud yang terkenal dengan Teori Psikoanalisis mengasumsikan bahwa dalam psikis manusia, ketidaksadaran (unconsciousness) lebih berperan mempengaruhi tingkah laku dibandingkan kesadaran (consciousness).

Freud menggambarkan kepribadian manusia ibarat gunung es. Bagian di atas permukaan laut sebagai wilayah kesadaran dengan kekuatan 10% dan bagian di bawah permukaan laut sebagai wilayah ketidaksadaran dengan kekuatan 90%. Secara fisik, pikiran sadar berada pada otak sebelah kiri memiliki fungsi untuk mengakses nalar, logika, dan sifat analitis. Segala bentuk data maupun informasi  yang masuk, ditangkap melewati panca indra seperti mata, telinga, hidung (penciuman), lidah, dan juga alat peraba lainnya kemudian apapun hasilnya akan dipresentasikan sesuai dengan apa yang sudah ditangkap.

Sedangkan pikiran bawah sadar terdapat di otak kanan yang disebut bank of memory. Disinilah letak dari keseluruhan rekaman kejadian yang pernah di alami dalam kehidupan setiap manusia. Seperti; kumpulan perasaan, pikiran, dorongan, dan ingatan sehingga informasi apapun memang tidak dapat diakses secara sadar, tetapi memberikan pengaruh terhadap perilaku.

Jika Freud mengibaratkan perasaan atau jiwa sadar dan tidak sadar seperti gunung es maka dr. Aisah Dahlan, CHt mengibaratkan bahwa Jiwa bawah sadar seperti sumo, dewasa dan gendut dengan power 90% tapi sebaliknya jika jiwa atau pikiran sadar diibaratkan anak kecil ceking dengan power hanya 10%. Jadi, jika tidak ada keselarasan  antara keduanya maka pikiran sadar akan kalah dengan bawah sadar. Padahal  yang diharapkan di sini adalah bagaimana anta keduanya bisa saling menyayangi, penuh cinta kasih sebagaimana kakak-adik atau orangtua dan anaknya. Jika sudah demikian, maka kesuksesan dan kebahagiaan akan mudah diraih. Jati diri pun sudah dikenal dengan baik.

Baca Juga