Masih segar diingatan, waktu SD kelas IV ditanya oleh seorang guru di sela pelajaran
"Siapa pahlawan tanpa tanda jasa?"
Aku hanya diam.
Kurang lebih tiga puluh di antara teman-teman kelas banyak yang menjawab bahwa pahlawan tanpa tanda jasa itu adalah guru.
Guru ku pun menjelaskan kalau menjadi guru adalah pekerjaan mulia, tanpa pamrih dan tidak ada ceritanya guru kaya raya.


   Hingga saat ini aku memercayai kata itu. Meski, dalam hati kecilku, pahalawan tanpa tanda jasa itu adalah petani. Petani memang tidak memiliki peran mendidik dan mempintarkan kaula muda namun bukan berarti berprofesi sebagai petani tidak mulia, bahkan menurut aku pribadi, petanilah yang lebih mulia dari pada seorang guru maupun profesi lainnya. Kendati demikian rasa takdzim ku terhadap para guru tetap yang utama. Bagiku petani special. Mereka memiliki peran penting untuk keberlangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Lihat saja tangannya, kulitnya, dan pakaianya! Melepuh, hitam, dan kotor Ia tetap bekerja keras. Ia sering sekali tidak dihargai dan harga pasar selalu dipermainkan.

Baca juga: Lagu ini sering di putar saat mandi

  Berprofesi menjadi seorang petani, memang tidak membuat cepat kaya, namun apa jadinya jika di dunia ini tidak ada yang mau bertani?  Terlebih era globalisasi yang membuat miris. Indonesia yang cantik karena tanahnya yang ditumbuhi beraneka ragam tumbuhan, Indonesia yang kaya raya akan rempah-rempahnya maka tidak akan segar lagi di pandang jika meniru Amerika, Korea, dan negara penghasil teknologi canggih  lainnya.

Bumi pertiwi, tanah kemakmuran


     Saat ini banyak tanah-tanah di Indonesia khusnya Madura di kejar-kejar oleh investor. Tidak sedikit bangunan atau toko-toko besar pemiliknya bukan Indonesia atau orang Madura itu sendiri. Tidak sedikit dari daerah lain, mereka terusir dari tanahnya sendiri. Apakah Madura akan mengalami hal serupa? Saat ini, banyak lahan (red:tanah) Madura yang sudah ditinggal pergi pemiliknya demi meningkatkan taraf hidup dan tuntutan perekonomian yang kian hari kian mencekik. Semua naik, namun hasil panen petani tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan anak petani sekarang, tidak bisa apa-apa terkait agraria. Mereka memang tidak ingin tahu menahu tentang agraria karena itu sebuah kemelaratan jika menekuni profesi tersebut. Akhirnya merantau di kota besar bahkan negara seberang menjadi tujuan bersama anaknya untuk kehidupan yang lebih baik. Kini, rumah hanya dihuni oleh orang tua yang sudah sepuh tidak pantas untuk merantau. Sehari-harinya melanjutkan bercocok tanam semampunya. Selebihnya, Jika investor datang dengan kata-kata yang manis, mereka mudah tergiur untuk memberikannya. Padahal di balik itu ancaman menunggu. Bisa saja hal yang terjadi di daeah lain akan terjadi juga di sini.

   Petani sudah semakin sedikt, bahkan hanya beberapa saja begitu pula lahan untuk bertani. Jika semua lahan di bangun untuk pembelanjaan, pariwisata, dan semacamnya maka apa yang akan terjadi di kemudian hari? Tidak akan ada lagi cerita Indonesia yang subur, kekayaan alam yang indah karena sudah di ganti gedung pencakar langit dan kehidpan laut yang tidak akan nyaman lagi karena ulah manusia. Meski segala profesi itu berkesinambungan seperti mata rantai dan saling membutuhkan di antaranya, namun petani ibarat profesi yang akan punah  segera jika melihat kenyataan hidup seperti ini.



#Sumber gambar; nasional.tempo.co
Baca Juga