Siapa sih yang tak kenal B.J. Habibie sosok yang hingga sekarang belum Ada yang menggulirkan posisi beliau sebagai figur anak negeri yang super jenius? Bahkan dalam buku "Tak boleh lelah dan kalah" halaman 43 karya Fachmy Casofa, saat beliau hendak pamit dari MBB tempat beliau bekerja di Jerman dengan posisi vice president atau Direktur Teknologi, para pemimpin di sana mengatakan bahwa "tak setiap 100 tahun terlahir di Indonesia orang macam Habibie" 

Semengagumkan itu ya. Jadi, sudah selayaknya Habibie kembali ke bumi pertiwi dan membangun negaranya menjadi lebih baik.

So, apa yang menjadikan beliau begitu tenarnya? Simak kisahnya berikut ini.


Lahir Dari Keluarga Agamis
Tahukah kamu bahwa orangtua eyang Habibie adalah orang yang bisa dikategorikan taat beragama. Mengapa demikian? Sebab ayahnya, Alwi Abdul Djalil Habibie meninggal dalam keadaan sujud saat tengah mengimami sholat isya' di rumah bersama seluruh keluarganya.

Tak Berhenti Berpikir
Rasa penasaran yang besar akan suatu hal membuat beliau selalu ingin mengetahui mengapa bisa begini, apa penyebabnya, dan bagaimana bisa terjadi. Sehingga pertanyaan yang tumbuh liar nan kompleks itu harus segera dijinakkan dengan mencari tahu sendiri jawabannya.

Saat masa kecil, ia Sering bertanya kepada orangtua dan gurunya mengenai hal-hal ganjal menurut pikirannya. Karena merasa sering menggaggu kesibukan mereka, beliau sering menyendiri untuk membaca dan terus beranalisis dan tak pernah berhenti berpikir.

Sehingga ketekunan beliau berbuah cinta baca hingga di usia senja dan merasa selalu didampingi oleh guru pribadi setianya, yaitu otaknya. Beliau berkata bahwa; ibu, ayah, keluarga, guru sekolah, guru besar di Universitas, para ilmuan, dan sebagainya hanya pembantu guru pribadinya saja.

Nah itulah kalau Kita gunakan baik-baik nih otak bakal jadi teman setia hingga akhir hayat guys

Dukungan Penuh Dari Orangtua
Setelah ayahnya tiada, ibu Habibie R.A Tuti Marini Puspowardojo menjadi single fighter yang dengan mantap melepas seluruh tabungannya demi pendidikan anaknya. Apalagi tidak tanggung-tanggung, Habibie memilih kuliah di Jerman jalur self funded artinya, seluruh biaya pendidikan dan uang hidup ia tanggung sendiri dan ibunya hanya mampu mengirimkan cintanya melalui guyuran doa.

Sumber gambar: Pinterest

Berlomba-Lomba Dalam Pendidikan
Orang pertama pembuat pesawat di Indonesia ini berhasil menerbangkan N-250/Gatotkoco  pada tanggal 10 Agustus 1995. Sebelumnya, beliau pernah menempuh Pendidikan di Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung yang sekarang menjadi ITB kemudian melanjutkan di Rheinisch Wesfaelische Technische Honchschule Aachan, Jerman.

Perjalanan dan proses seperti apa yang beliau tempuh hingga passionnya begitu bersinar? Yaitu beliau terus berlomba-lomba dalam Pendidikan. Satu contoh saat teman sekolahnya, Lim Keng Kie memperlihatkan Paspor Dinas RI dan berkata akan berangkat ke Jerman berkat beasiswa.

Setelah itu, beliau langsung menghadap bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI di Jakarta untuk menerima beasiswa belajar bidang fisika Teknik yang belum ada jurusannya di Indonesia namun sayang kantor Menteri hanya dapat membantu mengirim dengan sistem delegasi yang memberi kemudahan dalam membeli valuta asing sebab waktu pendaftaran sudah di tutup. Artinya, tidak ada yang bisa diharapkan barang secuilpun dari pengajuan beasiswa ini.

Tidak Sama Dalam Fasilitas Bukan Berarti Kalah kualitas
Saat teman-temannya mendapatkan uang sekolah, uang buku, uang pakaian dan hanya miliknyalah yang berpaspor hijau. Memacu jiwanya untuk rajin belajar. Jika tidak demikian, sama saja menyiksa batin dengan keterpurukan penuh kekurangan di negeri orang. Ketekunan dan kerja kerasnyalah menganugerahi gelar Diploma Ingenieur pada usia 23 tahun dengan predikat cum laude.


Lalu bagaimana dengan Kita? Saat  informasi dalam genggaman dan program beasiswa dari berbagai macam pemberi bertaburan, adakah keinginan merasakan belajar di negara lain? Bagaiamana persiapannya?







Baca Juga