Bagi orang-orang yang hidup dengan pasokan cinta yang penuh akan mudah untuk bahagia; bagi kami yang trauma, cinta adalah kekosongan, pengabaian, dan luka karena kami tidak tahu bagaimana rasanya tertawa dengan hangat dan penuh cinta ~IMH

Aku memiliki cerita hampir sama dengan founder Ruang Pulih, yaitu mbak Intan Maria Lie perihal orangtua yang bekerja keras demi membuat nyaman kehidupan anaknya tak melarat sehingga orangtua sering abai dengan perhatian dan waktu untuk lebih banyak membersamai anak-anaknya. Sehingga niatnya untuk membahagiakan malah hanya memberi luka. Meski saat ini sudah tumbuh dewasa, namun ketika hujan turun dan melihat anak-anak berseragam sekolah, aku geram sekali, tiba-tiba dalam pikiran seolah sedang memutar cerita belasan tahun silam, dimana seorang anak kurus kecil bahkan dekil karena kutu bersarang di kepala anak ini.

Pada suatu hari di sebuah desa, hujan membasahi bumi kian lebatnya, selang beberapa menit kemudian jam sekolah pun berakhir. Waktunya anak-anak dengan seragam merah-putih pulang. Beberapa orang tua datang membawa payung untuk si buah hatinya agar cepat pulang, setibanya di rumah dengan tanpa basah kuyup lalu istirahat.

Namun ada seorang anak yang menitikkan air mata di pojok sekolah menyaksikan pemandangan betapa hangatnya hubungan teman-temannya dengan orangtua yang menjemputnya, sedangkan dirinya harus menunggu hujan agak reda dulu baru pulang dengan sepatu dilepas lalu memasukkan ke dalam tas, kemudian nyeker dan lari untuk segera tiba di rumah.

Apa yang kamu rasakan setelah mengetahui cerita tadi? Kalau aku sendiri, aku merasa terluka dan ingin sekali memarahi orang tua kenapa sibuk sekali bekerja dan tidak meluangkan sedikit moment untuk menciptakan kenangan manis. Namun tak ada gunanya berdebat, ujung-ujungnya pasti tetap salah dan menganggap bahwa kurang memahami orangtua yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, aku tetap memilih bahagia kala itu, meski sempat menjatuhkan bola-bola kristal dari mata.




Aku memilih untuk membangun cinta dan bahagiaku dengan kesadaran diri mengusap air mata lalu mulai bermain dengan  sisa rintikan hujan yang tentu saja saat dewasa takan lagi bisa berlarian seperti itu dengan teman-teman lainnya. Dalam buku Luka Performa Bahagia karya Intan Maria Lie dan Adi Prayuda halaman 9 tertulis tebal bahwa kebahagiaan berbicara tentang menerima masa lalu, rasa puas mempersiapkan masa yang akan datang secukupnya, dan menikmati apapun yang terjadi di masa sekarang.

Happiness is not something ready-made. It comes from your own actions. ~ Dalai Lama

Sejujurnya, aku memang telah menerima cuplikan takdir hidupku. Apapun yang terjadi dalam hidup, ada takdir mubram yang merupakan prerogatif ketentuan mutlak hanya dari Allah yang pasti berlaku. Kita tidak bisa memilih lahir dari rahim seorang ibu Indonesia, Malaysia, Amerika maupun Mesir kemudian sang ibu berwatak pemarah, penyayang, atau kaku. Bahkan perihal finansial berasal dari kehidupan keluarga darah biru kah atau malah sebaliknya.

Memang sih waktu masih anak-anak aku ingin segera mati lalu lahir kembali di kehidupan berikutnya dari orangtua yang penuh cinta kasih, bahkan aku pernah menyampaikan ke teman-teman, andaikan dulu Allah menanyakan perihal aku ingin berkelamin apa, maka akan aku jawab lantang bahwa aku ingin menjadi laki-laki saja agar apa-apa tidak dibatasi karena persoalan kehidupan tatanan tradisi dan budaya masyarakat.

Namun itu hanya pengandaian, sungguh semua ini sudah menjadi garis garis ketetapan sang pencipta kehidupan bukan? Apalagi selain takdir mubram, ada  takdir muallaq sebagai ketentuan Allah tapi mengikutsertakan peran manusia melalui usaha dan ikhtiar. Disitu Allah memberikan peran kepada manusia, maukah bersyukur dan ditafsirkan secara baik apapun yang terjadi, atau malah tersungkur dan kufur, terpuruk dalam kesedihan dan mengutuk takdirnya.

Di dalam kata IKHLAS, ada kata KASIH ~ Adi Prayuda

Takdir bisa dirubah. Ingin memiliki cerita bahagia atau nestapa tergantung pilihan sendiri maukah memulihkan jiwa, mengembangkan bahagia dan melatih diri untuk memaafkan masa lalu. Naftalia Kusumawardhani, seorang psikologi klinis mengatakan bahwa memaafkan memanglah sulit namun kita bisa melepaskan peristiwa menyakitkan itu berlalu bukan untuk melupakannya. Sebab yang namanya luka, sampai kapanpun pasti membekas goresannya dan tidak akan bisa dihapus dari ingatan.

Tapi, memberi ampunan pada si pelaku entah memaafkan ucapannya maupun tindakannya atau bahkan keduanya sekaligus tentunya akan ada rasa damai dan tenang. Jadi, tak ada cara terbaik menyembuhkan luka kecuali hanya melakukan pemulihan dengan menerima peristiwa masa lalu dan mencipta bahagia di masa sekarang dan masa depan.

Aku merasakan kedamaian itu benar adanya, saat hati tetap lapang dada atas kejadian-kejadian buruk yang tidak hanya dialami di masa kecil. Peristiwa itu pun mengajariku untuk bagaimana seharusnya bersikap saat menjadi orangtua nanti. Aku berjanji kepada diri sendiri, agar kelak saat Allah mempercayai memiliki keturunan dari rahim sendiri, aku akan lebih banyak memberi waktu membersamai pertumbuhannya dan memperbolehkan ia melontarkan perasaan dan pendapatnya agar jiwanya bebas tanpa belenggu. Cukup aku saja yang pernah merasa haus kasih sayang, tidak dengan buah hatiku.

Dalam buku ini juga halaman 4 tertulis tebal bahwa “pilihan yang terbaik akan menentukan perjalanan kita selanjutnya. Kita dapat memilih menjadi korban ketidakbahagiaan atau pelaku pembawa kebahagiaan itu” sehingga kala itu aku sadar mungkin memang orang tuaku sedang tidak memungkinkan melakukan itu tapi kasih sayang lewat jalan lain yang mungkin tidak akan dirasakan oleh teman-temanku, yang dijemput bersama payungnya dapat aku rasakan.

Dan yang paling penting untuk diingat, kita harus memiliki kesadaran diri bahwa kita memiliki kendali untuk menjaga kesehatan jiwa, menerima peristiwa buruk  dan  mengubahnya menjadi lebih baik karena tuhan telah memberi kemampuan kepada manusia untuk tumbuh, dan berpikir. Apalagi manusia dilengkapi sejumlah peralatan pada dirinya melalui fisik yang lengkap dan panca indra yang begitu luar biasa fungsinya. Jadi, perihal hidup intinya adalah tentang sebuah pilihan bukan? setiap pilihan memiliki konsekuensi. Menurut mbak Naftalia konsekuensi yang harus dihadapi terletak pulalah solusi permasalahan di dalamnya bukan pada tempat lain. Temukan masalahnya, lalu cari posisi solusinya dimana.

Last but not  least, kesedihan dan pengalaman buruk yang kita alami ternyata ada orang lain yang juga memiliki ujian bahkan lebih berat dan pedih dari masalah kita sebagaimana kisah orang dalam buku ini. Seorang tawanan Nazi, namanya Victor Frankl Ph.D kehilangan istri, anak-anak, dan orangtuanya karena dibunuh. Untungnya peristiwa itu malah mengantarnya menjadi psikiater ternama, penulis buku terlaris, dan menjadi pemenang berbagai penghargaan. Ia sedih mengalami peristiwa itu namun bangkit mengubah luka menjadi performa bahagia untuk dirinya dan sekitarnya.

Bahagia itu membiarkan diri menyadari akan pilihan-pilihan hidup dan segala konsekuensinya ~IMH



Referensi;

webinar parade 4 oleh ruang pulih bersama Naftalia Kusumawardhani

buku Luka Performa Bahagia oleh Intan Maria Lie dan Adi Prayuda

Baca Juga